25 Desember 1999, itu adalah natal terakhir bagiku. Natal yang meriah tapi sederhana, hanya bersama keluarga tapi penuh dengan kehangatan. Sayang, tidak akan terulang kembali.
Kami memiliki sebuah pohon cemara dihalaman rumah, kemudian papa punya ide untuk merapihkan halaman rumah tapi tidak ingin membuang pohon cemara. Akhirnya pohon cemara itu dirontokkan daunnya, dikeringkan dan ditebang. Kemudian pohon cemara itu dipindahkan ke sebuah pot berwarna putih. Kemudian papa mengecat ulang pohon cemara yang hanya tinggal ranting-ranting itu dengan cat berwarna hijau. Dan hasilnya sangat indah.
Pohon cemara itu di taruh di dalam rumah di pojokan ruangan dekat jendela ruang tamu dan kami menghiasi pohon itu dengan sederhana. Beberapa lampu kelap kelip dan kapas dengan hiasan kartu-kartu ucapan "selamat hari natal" dari keluarga dan teman-teman.
Selepas perayaan natal, pohon itu tetap berada di tempatnya, hiasannya pun tidak di ubah sama sekali.
17 Januari 2000
Seperti biasa saya berangkat ke sekolah, waktu itu saya masih SMP. Saat jam pergantian mata pelajaran, saya melihat dari depan kelas kepulan asap hitam pekat di langit spontan saya ke ruangan BP. "pak, ada kebakaran...." tapi bapak guru bilang tidak ada apa-apa. Pelajaran di lanjutkan tapi tidak berselang lama kepala sekolah mengumumkan semua siswa di pulangkan. Saat itu sekitar pukul 11 siang.
Seperti biasa pula, saya pulang sekolah berjalan kaki dengan melalui rute yang sama. Saat itu saya menggunakan kalung salib dan melewati lapangan Mataram. Lapangan tersebut terlihat kacau seperti bekas orang sudah mengobrak abrik sesuatu. Saya merasa hal itu saya tidak perlu tau, maka saya abaikan. Sesampai dirumah saya ceritakan ke mama soal kepulan asap kebakaran dan Lapangan Mataram yang berantakan sekali, karena mama saya seharian dirumah dan memang tumben saat itu tamu yang kerumah sepi.
Selepas jam 12 siang, papa saya pulang kerja dan baru saja menjemput adik-adik saya pulang sekolah dan mengatakan bahwa kepulan asap hitam tersebut adalah sebuah gereja katolik yang berada di depan Rumah Sakit Umum Mataram telah di bakar MASSA yang mengatasnamakan diri ORMAS ISLAM. Mereka melakukan pembakaran tersebut karena terhasut acara Tabligh Akbar yang dilaksanakan di Lapangan Mataram hari itu.
Sesaat itu entah karena apa, saya bilang sama papa "pa kita kemas-kemas ya, trus ke Bali". Papa saya bilang tidak ada terjadi apa-apa kok, mungkin ada masalah salah paham saja makanya gereja di bakar. Saya tetap tidak tenang, saya masuk ke kamar dan berkemas-kemas sampai celengan, buku, baju bahkan bola basket dibawah tempat tidur saya packing.
Sekitar pukul 3 sore, seorang teman papa yang polisi menelpon kerumah meminta kami untuk berkemas-kemas mengungsi ke rumahnya dia. Saya sudah siapkan semua barang-barang yang akan saya bawa, tapi papa saya bilang "celengan dan bolanya taruh di rumah saja ya, tidak akan lama besok juga kita sudah pulang, ini cuman sebentar dan tidak akan parah". Saya tidak mau, saya merasa saya tidak akan pernah merasakan rumah ini lagi beserta apa yang saya punya. Tapi akhirnya saya menyerah, saya tinggalkan barang-barang favorit saya termasuk celengan ayam yang sudah hampir penuh di kamar papa dan dikunci.
Pukul 4 sore, teman papa menjemput kami dengan mobil dinas kepolisiannya dan diungsikan di rumahnya. Sepanjang perjalanan saya melihat beberapa rumah yang sudah dibakar. Dan saya tau itu adalah rumah teman saya, mereka seorang KRISTEN semua.
Di rumah teman papa itu saya gak berhenti cari tau keadaan rumah dan nenek saya. Keluarga kami yang berada di Ampenan, sudah diungsikan terlebih dahulu dengan cara di terbangkan ke Bali dengan menggunakan penerbangan darurat.
Pukul 5 Sore TEPAT, saya gelisah, saya telepon rumah tetangga yang kebetulan teman sekolah, namanya Septi. "ncep gimana disana? ada orang ribut-ribut?", terdengar septi yang menangis "mbak lia, jangan nangis ya... rumahnya mbak lia sudah gak ada, sudah dihancurin, motornya di bakar, barang-barangnya di jarah" saya shock.. saya ga tau saya juga tidak ingat apakah saya melanjutkan pembicaraan dengan Septi atau tidak. Pecahlah tangisan saya, saya lari ke mama dan kasi tau tentang yang terjadi. Sangat cepat berlalu.
Sepanjang malam saya ga bisa tidur, selain suara tembakan dimana-mana tetapi hati dan tubuh saya ingin lari ke rumah. Ingin waktu itu dikembalikan, ingin rasanya saya melempar BOM ke mereka yang tidak punya OTAK itu. Tapi apa daya saya hanyalah seorang anak SMP.
Keesokan harinya sepertinya keadaan semakin memburuk, kami sekeluarga diungsikan ke Bali dengan menggunakan penerbangan darurat. Kami diungsikan ke Bali.
Beberapa hari kemudian saya mendengar cerita dari papa, kalau memang benar tidak ada 1 pun yang tersisa di rumah. Semua barang-barang di jarah termasuk tempat tidur dan peralatan makan.
Saat sekumpulan masa yang mengatakan dirinya ORMAS ISLAM, melewati rumah kami beberapa tetangga sudah berjaga di depan rumahnya untuk memantau rumah kami, saat orang-orang itu menengok ke rumah kami tetangga depan rumah mengatakan "itu bukan rumah orang kristen, itu orang jawa yang punya sedang keluar kota"... orang-orang itupun melewati rumah kami, tapi satu orang dipaling belakang kemudian berteriak "ini rumah orang kristen, itu pohon natalnya" seketika itu para tetangga yang mencoba menyingkirkan orang-orang itu, tidak berhasil. Mereka merusak pagar rumah, mendobrak pintu rumah, menyeret keluar sepeda motor, mesin jahit dan membakarnya. Tidak hanya itu mereka menjarah mengambil semua isi rumah, termasuk tempat tidur, baju bahkan celengan saya pun tidak luput.
Entah mengapa saya masih kesal, marah jika mengingat kejadian ini. Kenapa mereka gampang sekali terprovokasi?? Keenapa???
Saya menamatkan SMP di Bali dan melanjutkan SMA kembali ke Mataram kemudian Kuliah di BALI hingga sekarang.
Sampai sekarang pun TIDAK ADA SATU ORANG PUN dari mereka yang menjarah dan menghancurkan rumah saya datang untuk meminta maaf.
25 Desember 1999, natal terakhir saya dengan pohon natal. Semenjak itu, tidak ada lagi pohon natal. Pohon natal selalu ada dan tetap bersinar di hati. :)